Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis
Bukan Bualan Biasa
Cerpen karya A.A Navis
yang berjudul Robohnya Surau Kami,
menurut saya adalah sebuah kritik sosial. A.A Navis menggambarkan tokoh seorang
kakek penjaga surau sebagai orang yang taat beribadah dan selalu mengingat
akhirat. Ia hampir-hampir tak pernah marah, untuk menjaga iman, perbutan baik
dan ibadahnya agar tak rusak. Di kehidupan sehari-hari memang masih ada
orang-orang yang memiliki sifat atau karakter yang sama seperti Kakek.
Kakek selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
Allah, berbuat baik kepada sesama tanpa mengharapkan imbalan, hingga jarang ia
memikirkan kenikmatan duniawi untuk dirinya sendiri. Ia ingin tetap fokus
mengabdikan dirinya kepada Allah. Memiliki rumah, anak dan istri, tak pernah ia
inginkan sebab ia selalu memikirkan perkara akhirat. Mungkin Kakek merasa,
itulah yang tepat dilakukan seorang hamba
dalam mengharapkan keridaan Allah.
Sekali waktu Kakek terlihat
bermenung sekaligus menahan amarah lantaran Ajo Sidi, seorang pembual,
mengisahkan seseorang yang taat beribadah tetapi dimasukkan ke dalam neraka
jahanam oleh Allah. Kakek merasa tersindir dan bertanya-tanya, apakah selama
ini yang ia lakukan, mengabdikan seluruh hidupnya kepada Allah adalah hal yang salah. Di akhir cerita, Kakek
meninggal di surau dengan keadaan leher
tergorok pisau cukur. Kakek bunuh diri. Awalnya saya mengira cerpen ini akan
menceritakan kerobohan sebuah surau, ternyata yang roboh adalah keimanan kakek
penjaga surau. Ia yang awalnya begitu mentaati perintah Allah, malah mengakhiri
hidupnya dengan cara yang paling dibenci Allah
Setelah dua kali membaca cerpen ini, saya baru dapat
mengambil kesimpulan bahwa kakek bunuh diri lantaran tertekan dan frustasi
mendengar bualan Ajo Sidi. Bahkan kakek terpengaruh dengan cerita itu. Kakek
berpikiran bahwa menjalankan perintah dan menghindari larangan Allah ataupun
tidak, sama saja, Allah akan tetap menjebloskannya ke dalam neraka.
Padahal yang dimaksud Ajo Sidi
bukanlah itu. Saya setuju dengan apa yang disampaikan Ajo Sidi, bahwa manusia
janganlah ‘berat sebelah’ dalam menjalankan hidup. Kita harus memikirkan
perkara dunia dan akhirat secara seimbang. Dari bualan Ajo Sidi, banyak
pelajaran yang dapat kita ambil. Ajo Sidi menggambarkan bahwa banyak manusia
yang sombong, bahkan ‘di hadapan’ Allah. Manusia selalu saja mengingat hal-hal
baik yang pernah diperbuatnya tanpa mengingat atau mengetahui kesalahan-kesalahan
apa saja yang pernah dilakukannya.
Dalam bualan Ajo Sidi, Haji Saleh dengan bangga dan
sombongnya berpikiran bahwa ia akan masuk surga. Ia merasa dirinya telah
melaksanakan segala perintah Allah, sedang kenyataannya banyak perkara dunia
yang ia abaikan hingga akhirnya menyulitkan orang lain.
Seperti
yang sudah saya ungkapkan di awal tulisan ini, cerpen Robohnya Surau Kami
adalah sebuah kritik sosial. A.A. Navis menggambarkan orang-orang yang masuk
neraka adalah orang Indonesia yang egois. Percakapan antara Tuhan dan Haji
Saleh sengaja dibuat sebagai tamparan untuk orang-orang Indonesia yang egois,
yang hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan saat ini saja, tanpa
memikirkan anak cucunya kelak. Bahkan orang-orang Indonesia seakan manggut-manggut saja diperbudak oleh
bangsa asing. Kekayaan alam yang Tuhan berikan pada negeri ini tidak dijaganya,
diperbolehkannya bangsa asing menguasai aset negara, padahal orang-orang
Indonesia sendiri masih banyak yang kelaparan. Jangankan bekal untuk anak cucu
bangsa ini nanti, hutang negara saat ini pun hampir-hampir tak dapat terhitung.
Tentulah Tuhan marah, sebab orang-orang Indonesia tidak menjaga dan mengelola
harta yang Dia berikan.
Bercermin dari bualan Ajo Sidi yang saya anggap bukanlah
sekedar bualan, yang terjadi di Indonesia saat ini seperti itulah adanya. Mari
kita tengok tanah timur negeri ini, sebuah perusahaan raksasa milik bangsa
asing, setiap harinya mengeruk harta kita, menjarah
emas-emas di tambang kita, layaknya seekor lintah menyedot darah seseorang hingga
gemuk membulat. Mereka datang ke negeri ini, tetapi mereka yang berkuasa,
mereka yang diuntungkan, sedang rakyat Indonesia dijadikannya buruh,
dijadikannya budak di negeri sendiri.
Cerpen ini berhasil membuka mata pembaca, terkhusus saya
sendiri, bahwa masih banyak hal-hal bodoh yang dilakukan manusia, dilakukan
rakyat Indonesia yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Sesuai dengan
kutipan pada cerpen ini, “Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”
Sebagai
contoh lain, surau dalam cerpen ini kian hari kian rapuh, diprediksi akan roboh
karena kebodohan orang-orang di desa itu, yakni papan dinding dan atap surau
tersebut sering dicopoti oleh perempuan-perempuan yang kehabisan kayu bakar
untuk memasak. Kasus di kehidupan nyata Indonesia yang sama dengan cerita
tersebut adalah kebiasaan warga mencopot besi-besi fasilitas umum, seperti besi
bangunan halte Transjakarta, yang kemudian akan dijual ke pengepul. Dari
kesamaan kasus ini, penulis seakan mengingatkan pembaca bahwa tangan-tangan
jahil kitalah yang sebenarnya merusak negara ini.
Satu
lagi pesan yang dapat saya tangkap dalam cerita ini, “mulutmu harimaumu”. Mari
jaga lisan kita, jangan sampai melukai hati orang lain, jangan sampai menjadi
belati. Selama menjadi seorang pembual, saya rasa Ajo Sidi tak pernah
membayangkan bualannya akan menjatuhkan korban. Meski bualan itu memiliki pesan
yang cukup berarti, tetap saja Ajo Sidi telah melukai hati Kakek. Di kehidupan
nyata pun hal seperti ini sering terjadi. Ada orang yang rela menjadi pembunuh
lantaran sakit hati dihina teman atau keluarga sendiri. Memang terkadang lidah
lebih tajam daripada pisau.
Dari
gambaran-gambaran di dalam cerpen yang tidak berbeda jauh dengan hal yang biasa
terjadi di kehidupan sehari-hari, A.A Navis menyiratkan pesan agar kita
meninggalkan perilaku-perilaku buruk tersebut. Kita diajak melakukan kebaikan
untuk dunia dan akhirat. Juga sebagai makhluk yang berakal, kita haruslah
memperjuangkan apa yang sebenarnya milik kita, apa yang pada dasarnya diberikan
untuk kita. Allah menginginkan kita untuk berikhtiar, untuk bekerja, bukan
untuk kemaslahatan diri sendiri, tetapi juga untuk anak dan cucu kita kelak.
Tarikan alur mundur dan penggunaan
bahasa yang disajikan A.A Navis terbilang mudah untuk dipahami. Pun karena tema
yang diangkat dan tokoh penokohan yang dibentuk mencerminkan kehidupan sosial
dan religi yang banyak terjadi di kehidupan sehari-hari.
Apa maksut teks usulan tersebut
ReplyDeleteApa maksut teks usulan tersebut
Delete