Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Kejahiliahan Dukuh Paruk


Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala, adalah novel trilogi karya Ahmad Tohari yang kemudian disatukan menjadi novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Kisah peronggengan pada novel ini diangkat dari kebudayaan yang benar-benar ada di tanah kelahiran penulisnya, yaitu di Jatilawang, Banyumas. Novel ini dua kali diadaptasi ke dalam film,  yakni film Darah dan Mahkota Ronggeng, dan Sang Penari.
            Novel Ronggeng Dukuh Paruk memperkenalkan kebudayaan di sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk, yaitu budaya ronggeng. Dalam novel ini penulis banyak menggambarkan keterbelakangan, kemiskinan, kemistikan, dan budaya ronggeng Desa Dukuh Paruk. Sebuah desa di tengah-tengah lahan sawah, yang diisi oleh 23 gubuk reyot. Penghuni desa yang amat sedikit itu dipercayai saling memiliki ikatan persaudaraan yang kuat, bahkan ikatan darah dari keturunan Ki Secemenggala.
            Saya mengangkat judul Kejahiliahan Dukuh Paruk karena merasa penduduk desa ini memiliki pemikiran yang amat terbelakang. Seorang anak perempuan bernama Srintil dijadikan ronggeng karena tubuhnya dianggap telah dimasuki indang ronggeng. Sejak menjadi ronggeng di usianya yang baru menginjak 12 tahun, jiwa dan raga Srintil sudah dieksploitasi, salah satunya adalah seksualitas Srintil.  Mahkota keperempuanannya dilelang dalam ritual bukak-kelambu. Meski menjadi ronggeng pada awalnya adalah kemauan Srintil sendiri, tetapi segala ritual dalam peronggengan ini saya anggap adalah pencabutan paksa hak asasi manusia yang melekat pada diri Srintil. Semenjak dinobatkan menjadi seorang ronggeng, jiwa dan raga Srintil bukanlah miliknya sendiri, tetapi milik penduduk Desa Dukuh Paruk dan milik siapa saja yang rela membayarnya. Kejahiliahan lain yang saya temukan pada novel ini adalah pemikiran penduduk Dukuh Paruk dan sekitarnya akan kehebatan seorang lelaki yang dapat diukur dari kemampuannya ‘bergaul’ dengan ronggeng. Istri-istri di Dukuh Paruk dan daerah sekitarnya merasa bangga apabila melihat dan memamerkan suaminya bertayub atau melakukan hubungan seks dengan ronggeng. Meski harus menjual ternaknya untuk membayar tarif ronggeng, mereka rela.
            Nilai-nilai moral pada Desa Dukuh Paruk sangatlah rendah. Kecabulan dan kebiasaan mengucap sumpah serapah melekat pada diri penduduk Dukuh Paruk. Dunia peronggengan di Dukuh Paruk itu sendiri selain sebagai simbol kebudayaan, juga sebagai simbol kecabulan Dukuh Paruk. Seperti yang dijelaskan di dalam novel, setelah menjadi ronggeng, Srintil mengenakan pakaian dan menyanggul rambutnya dengan gaya yang dapat menaikan hasrat seksual laki-laki. Saat masuk ke dalam pasar, Srintil membiarkan saja tangan-tangan jahil menentuh bokongnya. Tak hanya membiarkan, Srintil malah menatap orang-orang di sekitarnya dengan tatapan sensual yang dapat membangkitkan berahi laki-laki manapun. Awalnya saya mengira hal-hal asusila di daerah itu dan di masa itu dihalalkan oleh semua orang, ternyata tidak. Di sana masih ada orang-orang yang menjujung tinggi moral dan kemartabatan perempuan. Siti, perempuan yang sering berbelanja di pasar Dauwan adalah salah satunya, ia menampar Rasus saat Rasus dengan gemas menyentuh pipi Siti. Rasus anak yang lahir dan tumbuh di Dukuh Paruk merasa heran karena apa yang ia lakukan terhadap Siti adalah hal biasa di Dukuh Paruk. Keluar dari Dukuh Paruk Rasus merasa matanya semakin terbuka, ia mulai menyadari kejahiliahan-kejahiliahan tanah kelahirannya.
            Sosok Siti dapat dijadikan pembanding Srintil. Dari segi pemikiran dan kelakuan, Siti jauh lebih maju. Sita menghargai harkat dan martabat perempuan yang tak boleh sembarangan diusik laki-laki, berbeda dengan Srintil yang dengan sengaja memancing perhatian dan berahi laki-laki. Akan tetapi setelah membaca lebih jauh, saya baru mengerti apa yang sebenarnya dirasakan oleh Srintil. Srintil juga tersiksa dengan beban ronggeng yang harus diembannya. Sebagai perempuan, hati kecil Srintil meringis karena harus merelakan jiwa dan raganya dikangkangi oleh lelaki-lelaki berperangai hewan.  
            Dalam memandang dan menjaga makam Ki Secemenggala, penduduk Dukuh Paruk dinilai sangat mencintai dan menghargai moyangnya. Akan tetapi kecintaannya pada Ki Secemenggala itulah yang membuat penduduk Dukuh Paruk setia pada kebodohan yang selama ini mereka kandung. Pemikiran-pemikiran kolot, kebiasaan, dan budaya Dukuh Paruk yang sebenarnya tidak sejalan dengan naluri kemanusiaan masih tetap lestari melekat pada diri penduduk Dukuh Paruk dengan alasan mengikuti perintah leluhurnya itu. Selain kesakralan-kesaklaran yang masih dipatuhi, penduduk Dukuh Paruk dan desa-desa di sekitarnya masih mempercayai dan menggunakan ilmu hitam. Untuk mempercantik diri dan menarik perhatian, Srintil memakai susuk dan pekasih pada tubuhnya, sedangkan untuk membalas dendamnya, Marsusi yang gagal ‘membeli’ Srintil, berniat membunuh Srintil dengan santet.
            Setelah membaca lebih jauh, saya baru menyadari bahwa inti cerita dari novel ini selain untuk memperkenalkan dan menguak budaya peronggengan yang ada di salah satu desa kecil Indonesia,  juga untuk menceritakan tragedi 1965, yaitu tragedi penangkapan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keluguan sekaligus kebodohan penduduk Dukuh Paruk dimanfaatkan oleh PKI untuk terlibat dalam aksinya. Penduduk Dukuh Paruk yang buta akan pengetahuan kenegaraan, menganggap orang-orang yang sedikit memiliki kaitan dengan petinggi negara adalah para penguasa. Maka dari itu, tim Ronggeng Dukuh Paruk dengan  patuhnya menerima tawaran mengisi acara rapat-rapat kaum yang menganggap dirinya pejuang revolusi itu. Keterlibatan Ronggeng Dukuh Paruk dalam rapat-rapat itulah awal dari kehancuran Dukuh Paruk. Kaum yang mengaggap dirinya adalah pejuang revolusi itu ternyata adalah PKI yang kejam, yang ingin menggulingkan idilogi bangsa, dan orang-orang Dukuh Paruk dianggap terlibat dalam aksi-aksi PKI itu.
            Novel in dapat saya katakan adalah sebuah karya berbau kritik sosial. Salah satunya adalah kritik terhadap perlakuan hukum yang tidak adil di Indonesia. Tim Ronggeng Dukuh Paruk yang dianggap terlibat dengan PKI ikut ditangkap dan ditahan dalam penjara meskipun bukti-bukti yang menyatakan mereka terlibat dengan PKI amatlah sedikit. Ketidakadilan lainnya adalah pada masa penahanan Srintil yang berbeda dengan masa penahanan orang Dukuh Paruk lainnya. Tim Ronggeng Dukuh Paruk yang lain hanya ditahan selama dua minggu, sedangkan Srintil ditahan selama dua tahun. Selama ditahan, Srintil kerap ‘dipakai’ oleh orang-orang yang bertugas di tahanan tersebut. Ternyata ketidakadilan hukum yang saat ini marak terjadi, sudah ada dari zaman dahulu. Novel ini mengingatkan kejahiliahan Indonesia pada 52 tahun yang lalu, novel ini juga bermaksud menampar pembacanya di masa ini, bahwa saat ini Indonesia masih sejahiliah puluhan tahun yang lalu.
            Kritik sosial lainnya yang saya tangkap dari novel ini adalah tentang kemiskinan orang-orang Dukuh Paruk. Di negara yang katanya kaya raya ini masih ada anak-anak yang menangis dan menjerit menahan lapar. Kemiskinan dan kebodohan orang-orang Dukuh Paruk lagi-lagi membawa bencana bagi diri mereka sendiri. Puluhan orang Dukuh Paruk mati lantaran memakan tempe bongkrek. Tempe bongkrek adalah makanan miskin gizi yang paling terjangkau oleh orang-orang Dukuh Paruk. Tempe bongkrek memiliki kemungkinan besar menjadi beracun apabila ragi yang diolah di dalamnya terpapar oleh suatu zat. Alangkah mengerikannya kemiskinan. Miris saya membayangkan anak-anak Sakum mesti mencari belalang untuk disangrai dan dijadikan lauk, membayangkan gubuk-gubuk reyot, sempit, dan minim penerangan tempat mereka tinggal, membayangkan penyakit-penyakit yang diderita penduduk Dukuh Paruk, membayangkan keterbelakangan pemikiran dan pengetahuan mereka. Benar-benar, kemiskinan dan kebodohan itu mengerikan.
            Meskipun saya menganggap bahwa novel ini adalah salah satu karya sastra yang bagus karena isi ceritanya yang amat berbobot dan dapat diambil pesan moralnya, tetapi jujur saya kurang menikmati novel ini. Di pertengahan novel saya jenuh dengan cerita Srintil dan ‘pelanggan-pelanggannya’, ceritanya seperti berputar-putar di situ saja. Tetapi cerita cinta Srintil dan Rasus seperti mengobati kejenuhan saya pada novel ini. Saya menyukai cara Rasus mencintai Srintil. Cinta Rasus terhadap Srintil tumbuh karena Rasus memandang Srintil sebagai sosok ibunya yang tak pernah ia jumpai, kemudian rasa cinta itu berubah menjadi rasa ingin memiliki. Tetapi apalah daya Rasus, dia tak memiliki apa-apa untuk ‘membeli’ Srintil. Meski saling mencintai, Srintil dan Rasus tak dapat berbuat apa-apa. Srintil harus tetap menjadi ronggeng, menjadi milik siapa pun, dan Rasus membenci hal itu. Rasus tak kuasa melihat kecintaannya menjadi bahan dagangan di tanah airnya, maka Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk, menjadi tentara, dan kembali ke Dukuh Paruk membawa status pekerjaan yang amat dihormati dan disegani orang-orang Dukuh Paruk. Akhir cerita, Rasus tetap tidak dapat menikahi Srintil lantaran kejiwaan Srintil terguncang akibat tekanan-tekanan yang ia rasakan selama menjadi ronggeng dan tahanan. Akan tetapi, dengan tulusnya Rasus mau merawat dan berusaha menyembuhkan Srintil.

            Meski sempat merasa jenuh dalam membaca novel ini, saya tetap mengakui bahwa novel ini adalah salah satu karya sastra berbobot yang sangat layak dibaca. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dalam penggambaran kebodohan dan keterbelakangan tokoh-tokoh dalam novel ini. Dari novel ini kita juga dapat menambah wawasan tentang salah satu kebudayaan dan sepercik sejarah Indonesia. 

Comments

  1. Where to Bet on Sports To Bet On Sports In Illinois
    The best herzamanindir.com/ sports bet types and bonuses available febcasino in Illinois. The 토토 사이트 모음 most common sports betting communitykhabar options available. 토토 Bet $20, Win $150, Win $100 or

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis