Analisis Cerpen Kereta Api Internasional Menggunakan Pendekatan Multikulturalisme Sastra
Cerpen
Kereta Api Internasional karya Sitor Situmorang ini bercerita tentang pertemuan
delapan orang dengan berbagai macam kebangsaan di dalam sebuah kereta api.
Tokoh Aku pada cerpen ini merupakan orang asli Indonesia. Tokoh Aku duduk bersama
tujuh orang di dalam sebuah kupe. Satu orang permpuan – yang disapa nyonya –
berkebangsaan Vlaam, satu gadis berkebangsaan Belanda, satu gadis lainnya
berkebangsaan Jerman, dan dua orang laki-laki pelaut berkebangsaan Yunani. Untuk
mengisi keheningan di dalam kupe, nyonya di hadapan tokoh Aku meminta pemuda
asal Yunani untuk melanjutkan permainan gitarnya. Tak lama pelaut Yunani yang
lebih tua memerhatikan tokoh Aku dan bertanya apakah tokoh Aku orang India.
Dari sanalah dimulainya perbincangan panjang mereka.
Beberapa
orang dari negara yang berbeda berkumpul dan melakukan dialog, sebenarnya sudah
dapat disebut sebagai persentuhan kultur. Mereka saling beradaptasi dan
mengimbangi satu sama lain. Dengan bahasa Inggris sebagai lingua franca adalah satu bentuk kepahaman mereka bahwa mereka akan
sulit berinteraksi apabila menggunakan bahasa masing-masing yang belum tentu
diketahui oleh orang yang diajak berkomunikasi. Maka dari itu ketujuh orang di
dalam kupe yang memahami bahasa Inggris akhirnya dapat bersosialisasi atau
berinteraksi. Berbeda dengan satu pemuda asal Yunani yang memilih diam karena
tidak mengerti bahasa yang menjadi bahasa pengantar di dalam kupe itu.
Pelaut Yunani menebak
tokoh Aku sebagai orang India dan Tionghoa. India, Tioanghoa dan Indonesia
merupakan negara yang sama-sama berada di benua Asia, mungkin karena faktor
itulah ada sedikit kemiripan karakteristik wajah dan postur tubuh orang-orang
dari kedua negara ini. Kulit tokoh Aku yang berwarna coklat, sempat juga dikira
orang Negro.
“‘India?’ katanya tanpa
mengganggu lagu”,
“‘Dilihat dari depan,
Tuan Indonesia ini entahlah bangsa apa, kecuali bahwa kulitnya coklat, semacam
... Othello agaknya.’, ‘Othello, Negro dari opera itu?’ kata si gadis Belanda.”
“Coba, Tuan ini saja
tak bisa dikatakan apa Tionghoa, India atau Negro.”
Ketika pelaut tua itu
memperkenalkan diri sebagai orang yang berasal dari Yunani, tokoh Aku, Nyonya
dari Vlaam, gadis Belanda, dan gadis Jerman merasa heran. Bahkan gadis Belanda
mengungkapkan bahwa kecantikan dari zaman ke zaman berubah-ubah karena ia pikir
orang Yunani memiliki wajah yang cakap layaknya pahlawan-pahlawan Yunani yang
ia tahu, sedangkan kedua pelaut ini memiliki wajah yang jauh dari perkiraan
gadis Belanda itu.
“Kami semua
memperhatikan si pelaut itu: orang Yunani! Seakan-akan demikianlah kami berkata
dengan heran.”,
“‘Kecantikan bangsa
rupanya berubah-ubah juga,” kata si gadis Belanda di samping saya, ‘bagaimana
juga, saya tak akan menyangka Tuan-Tuan ini misalnya orang Yunani! Orang Yunani
dalam pikiran saya selalu mesti ...!’”
Gadis Jerman yang
sedikit berbicara itu pun dikira si pelaut tua berasal dari Latin.
“‘Siapa akan mengira,’
kata si pelaut tua, ‘Nona, seperti wanita Latin saja!”
Dari kutipan-kutipan di
atas, terlihat bahwa biasanya orang-orang menebak kewarganegaraan seseorang
dengan melihat karakteristik fisiknya. Terutama orang-orang yang memiliki
karakteristik yang mencolok. Contohnya mata sipit biasa dimiliki oleh orang
Asia Timur, rambut pirang biasa dimiliki oleh orang Eropa, kulit hitam biasa
dimiliki orang Afrika. Namun tak jarang pemikiran seperti itu salah. Seperti
pada cerpen ini, tokoh Aku dianggap sebagai orang India, Tionghoa, dan orang
Negro karena memang akan ada kemiripan karakteristik penduduk di negara-negara
yang masih dalam satu benua. Cerpen ini saya kaji menggunakan pendekatan
multikulturalisme, kultur adalah budaya, dan budaya adalah pemikiran. Maka dari
itu pemikiran tokoh-tokoh novel ini dalam memandang satu sama lain saya
tuangkan dalam analisis ini.
Persentuhan budaya yang
dapat saya kaji pada cerpen ini juga salah satunya pada cerita gadis Belanda
yang menjadi pelayan di Prancis. Banyak orang berpendapat bahwa Perancis adalah
negara yang indah, namun gadis Belanda
ini tidak memiliki pandangan yang sama. Menurutnya Perancis adalah negara yang
kotor, penduduknya serba bergantung pada orang lain dalam melakukan berbagai
hal, laki-laki dari negara itu bersifat kurang ajar, anak-anaknya cengeng dan
manja. Gadis Belanda itu membenci budaya atau kebiasaan orang-orang Perancis
itu yang dianggapnya sangat merepotkan. Bahkan gadis Belanda itu membandingkan
keindahan dan kemakmuran Belanda dengan Perancis.
“Apa saja yang tidak
dibilang orang menyinggung-nyinggung Paris. Cis ... mana kotor, mana laki-laki
kurang ajar. Orang-orang Perancis, apalagi yang kaya, goblok!”
“...Anak-anak yang
terlalu manja dan cengeng, tuan dan nyonya yang tak ada kerjaan siang dan
malam, kecuali menekan lonceng minta diurus ini dan itu. Makan seenaknya, pergi
keluar kota beristirahat di puri. Pantas Perancis bangkrut. Tahunya
membentak-bentak pelayan saja. Dan sambil ketawa lepas. Coba Nyonya pikiran,
kalau hendak istirahat keluar kota dalam mobil harus dibawa pot. Dan kalau
anak0anak buang air, berhenti di tengah jalan untuk membuang kotorannya ke WC
restoran. Nyonya dan tuan besar merepek saja, entah apa yang dipertengkarkan!
Bangsa tak ada kerjaan. Coba bandingkan dengan negeri Belanda. Ah, baru
sekarang kutahu: padang dan sapi Belanda memang lebih indah, lebih makmur dari
apa yang terindah di Perancis. Buat saya, Perancis sudah tamat.”
Dalam cerpen ini juga
terdapat peleburan kultur. Gadis Jerman yang terlihat sedikit bicara tenyata adalah
‘produk’ dari peleburan kultur. Ibu gadis Belanda itu adalah orang Indonesia
dan ayahnya adalah orang Jerman. Ia sendiri dibawa oleh ayahnya ke Jerman saat
ia masih bayi, yaitu sebelum Perang Dunia Kedua meletus di Indonesia.
“Ibu saya di Indonesia.
Hidup di Madiun ...orang Indonesia, tulen. Mengertikah Tuan? Saya yang menuruh
tunangan saya menerima kerja di Indonesia. Bapak saya hendak menyembunyikan ibu
saya seorang Indonesia, yang ditinggalkannya dekat sebelum Perang Dunia Kedua
meletus di Indonesia. Ia membawa saya ke Eropa Inilah saya bangsa Nordik, anak
seorang Nazi, pengikut Hitler yang taat. Andaikan bisa berubah, jadi Tuan
misalnya ....”
Comments
Post a Comment