Analisis Film Nagabonar Jadi 2 Menggunakan Pendekatan Multikultur

Film Nagabonar Jadi 2 yang diperankan oleh Deddy Mizwar dan Tora Sudiro ini menceritakan tentang kehidupan seorang ayah dan anak yang menetap di tempat yang berbeda sehingga banyak perbedaan pemikiran, sikap, dan budaya di antara mereka yang mengakibatkan banyaknya perselisihan. Pemikiran, sikap,  budaya, hingga kebiasaan anak dan ayah ini berbeda karena faktor lingkungan. Film ini pada awalnya menceritakan seorang ayah bernama Nagabonar yang tinggal di suatu daerah di Sumatera Utara diajak ke Jakarta oleh anaknya yang bernama Bonaga. Bonaga bersikap dan berpemikiran layaknya masyarakat yang tinggal di perkotaan. Sedangkan Nagabonar berwatak keras seperti orang Sumatera pada umumnya dan memiliki pemikiran-pemikiran yang kolot dan berlawanan dengan orang perkotaan masa kini. Berikut akan dipaparkan perbandingan pemikiran, sikap, dan budaya Nagabonar sebagai orang daerah, khususnya daerah Sumatera Utara dengan Bonaga sebagai keturunan orang Sumatera Utara yang menetap dan tumbuh besar di perkotaan.
Saat di perjalanan menuju bandara, Nagabonar yang tengah duduk di mobil melihat sekumpulan anak laki-laki sedang asik bermain sepak bola di tanah lapang. Hal ini mencerminkan kebudayaan atau kebiasaan anak-anak daerah. Mereka banyak bermain di ruang terbuka dengan jenis permainan yang dilakukan beramai-ramai, sehingga rasa kebersamaan dan kekeluargaan anak-anak daerah lebih kental dibandingkan anak-anak yang tinggal di perkotaan.
Film ini menampilkan pula scene makan malam Nagabonar dan Bonaga di tempat yang berbeda. Nagabonar makan di rumah Bonaga bersama kedua pembantu Bonaga dengan santainya. Ia berpakaian sederhana sebagaimana pakaian yang biasa ia kenakan. Makan dengan tangannya tanpa bantuan sendok dan garpu. Satu kakinya diangkat dan dipijakan di atas kursi, kemudian ia menyuruh pembantu di hadapannya untuk mengikuti gaya makannya. Dengan canggung dan sedikit takut, perlahan pembantu itu menuruti perintah Nagabonar. Scene ini menggambarkan bahwa orang yang terlahir dan besar di sebuah daerah akan lebih menghargai terhadap sesama manusia tanpa membedakan derajat. Nagabonar bersikap seakan sedang makan bersama rekannya. Ia tidak memandang rendah kedua pembantu anaknya dan bersikap kepada mereka layaknya pada orang yang sederajat dengannya.
Sedangkan di lain tempat, Bonaga menyantap makan malamnya di sebuah restoran elit bersama teman-temannya. Ia menggunakan setelan jas santai dan makan makanan berkelas layaknya pemuda borjuis. Dari orang dewasa hingga kalangan remaja di perkotaan memang biasa nongkrong atau berkumpul di tempat-tempat yang bergengsi tinggi seperti yang dilakukan Bonaga dan teman-temannya.
Sepulangnya dari restoran, Bonaga duduk di kasurnya sambil membaca buku, tak lama Nagabonar masuk ke dalam kamar Bonaga, ia ingin tidur bersama anaknya. Suhu udara di dalam kamar Bonaga cukup dingin dan Nagabonar tidak terbiasa dengan itu. Nagabonar menyuruh Bonaga untuk mematikan AC kamarnya namun Bonaga menolak karena ia tidak akan bisa tidur apabila ACnya dimatikan. Adegan ini memperlihatkan bagaimana bergantungnya orang perkotaan pada alat elektronik, dan sebaliknya pada orang daerah.
Film ini juga memperlihatkan bahwa orang perkotaan kurang peduli pada lingkungan, dan lebih sering mementingkan keuntungan materi. Kebanyakan dari mereka menjalankan proyek-proyek pembangunan tanpa mempedulikan lahan-lahan yang semakin terkikis, seperti yang dilakukan oleh Bonaga dan teman-temannya. Ia ingin membangun perumahan elit di atas lahan perkebunan kelapa sawit milik ayahnya. Namun Nagabonar menolak dengan keras karena di lahan perkebunan kelapa sawitnya tedapat makam-makam orang yang amat ia sayangi, yaitu Kirana istinya, ibunya dan Bujang adiknya. Seperti yang dikatakan Monita – perempuan yang disukai Bonaga – memang biasanya orang daerah berat meninggalkan makam para leluhurnya. Namun berbeda dengan Bonaga, pemikiran yang seperti itu tidaklah ada dalam benak Bonaga. Walaupun ia juga menyayangi orang tua, nenek, dan pamannya, hal itu tidak membuat Bonaga mengurungkan niatnya untuk menghentikan proyek pembangunan tersebut. Maka dari itu Bonaga dan teman-temannya bersikeras merayu Nagabonar agar mengizinkan mereka membangun perumahan di atas lahan perkebunan kelapa sawit Nagabonar dengan mengiming-imingi keuntungan sebesar 2 triliun Rupiah yang akan dihasilkan.
Dalam dialog Bonaga dan Monita, Monita berkata bahwa orang mampu dan sukses (mengacu pada orang perkotaan) selain mempersiapkan istana dunianya, yaitu rumah mewah, mereka juga akan mempersiapkan makamnya sebelum mereka meninggal dunia.
Orang yang tinggal di perkotaan cendrung apatis, sedangkan orang daerah biasanya peka terhadap apa yang terjadi pada lingkungannya. Pada film ini digambarkan saat Nagabonar sedang menaiki bajaj, ia melihat seorang nenek di atas bak motor sedang terpejam lemah dalam pelukan anak kecil. Nenek itu akan dilarikan ke rumah sakit karena sedang dalam kedaan sekarat. Namun keadaan lalu lintas pada saat itu sedang macet yang disebabkan oleh bus umum yang sedang menunggu penumpang. Nagabonar geram melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Tak ada seorangpun yang mempedulikan nenek sekarat itu. Dengan                      langkah lebar-lebar Nagabonar keluar dari bajaj dan menghampiri sopir bus yang ada di barisan jalan paling depan. Nagabonar menghardik sopir bus tersebut hingga akhirnya bus itu kembali jalan. Sifat individual masyarakat perkotaan memang cukup kuat. Hal ini seperti sudah menjadi kebudayaan atau kebiasaan masyarakat perkotaan yang terbentuk akibat lingkungannya yang terlalu kotak-kotak.
Kebiasaan atau budaya yang terdapat dalam film ini salah satunya sifat hedonis yang dimiliki masyarakat perkotaan. Sifat hedonis ini ada pada diri Bonaga dan teman-temannya. Mereka senang datang ke diskotik dan berhura-hura di dalamnya. Diskotik identik dengan tempat yang tidak baik, tempat berhura-hura, tempat berzina, dan melakukan hal-hal yang menentang norma. Namun pergi ke diskotik sudahlah menjadi sebuah budaya atau kebiasaan bagi pemuda-pemudi kota masa kini. Bahkan pada film ini, Jaki, teman Bonaga yang beragama Islam, rajin menunaikan ibadah salat tetap datang ke diskotik.
Kehidupan di kota memang cukup bebas sehingga dengan mudahnya masyarakat melanggar norma, moral, dan batasan-batasan yang ada. Bahkan perilaku msayarakat kota pun banyak yang melanggar kodratnya. Kasus serupa yang terjadi pada film ini yaitu adanya tokoh homoseksual yang diperankan oleh Jaja Miharja yang menggoda Nagabonar di dalam diskotik.
Selain membandingkan kultur masyarakat daerah dengan masyarakat kota, saya juga akan memaparkan perbedaan kultur masyarakat zaman dahulu dan zaman sekarang.  Orang zaman dahulu identik dengan pendidikan yang rendah. Seperti Nagabonar yang tidak bisa membaca, menulis, dan mengaji. Saat Bonaga memperlihatkan selembar peta Sumatera, Nagabonar berkata bahwa ia tidak bisa membaca. Nagabonar juga menyuruh Bonaga untuk menuliskan setiap ucapan Nagabonar yang kemudian harus dibacakan Bonaga di depan makam ibu, nenek, dan pamannya karena Nagabonar tidak bisa menulis sendiri, dan Nagabonar mengaku pada Umar – sopir bajaj – bahwa ia tidak bisa mengaji lantaran pada saat Nagabonar kecil, ia selalu kabur saat disuruh ibunya sekolah dan mengaji. Sedangkan zaman sekarang, pendidikan dapat dikatakan poin penting dalam kehidupan. Bonaga berbeda dengan ayahnya yang tidak berpendidikan, ia bahkan mengenyam pendidikan sampai ke negeri orang.
Dalam menilai seseorang, orang zaman dahulu dan zaman sekarang juga berbeda. Orang zaman sekarang dapat terpandang apabila memiliki fisik yang menarik, dan materi yang lebih. Seperti yang diperbincangkan oleh Nagabonar dan Monita, Monita berpendapat bahwa Bonaga dapat menarik perhatiannya karena memiliki wajah yang tampan dan sudah mapan. Nagabonar heran, mengapa dahulu istrinya mau menikah dengannya sedangkan Nagabonar berpenampilan buruk dan tidak memiliki apa-apa yang dapat ia banggakan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa perbedaan zaman juga diiringi dengan perbedaan masyarakat dalam menilai seseorang.
Budaya modern di perkotaan salah satunya adalah sistem pesan kursi yang diterapkan di restauran-restauran elit. Nagabonar heran sekaligus jengkel mengetahui bahwa kebiasaan orang perkotaan begitu merumitkan baginya. Ia merasa itu tidak adil, ia masuk lebih dahulu ke dalam restauran yang kursinya pun masih kosong namun ia tidak dapat makan di tempat itu. Ia juga merasa peraturan di kota tidak adil saat ia mengelilingi Jakarta dengan menumpangi bajaj, namun dalam perjalanan ia bertemu seorang polisi yang melarang bajaj melintasi jalan tersebut. Nagabonar merasa heran dan geram karena di kampungnya ia tidak pernah melihat aturan-aturan yang seperti itu.
Dalam film ini ada satu scene yang menurut saya begitu lucu, Nagabonar menganggukan kepala kepada seseorang asal Jepang, kemudian orang Jepang itu ikut menganggukan kepala. Dalam budaya Jepang, membungkuk atau menganggukan kepala adalah bentuk penghormatan kepada orang lain. Apabila ada seseorang membungkuk atau menganggukan kepala, maka orang yang ditujunya haruslah membalas dengan membungkuk atau menganggukan kepala juga. Melihat orang Jepang itu menganggukan kepala, Nagabonar malah berkali-kali menganggukan kepala kepada orang itu, dan dibalas berkali-kali pula.
Perbedaan budaya yang mencolok pada film ini salah satunya adalah perbedaan bahasa dan logat para tokohnya. Nagabonar berlogat khas Sumatera Utara, Bonaga juga berlogat Sumatera Utara namun tidak sekental logat Nagabonar karena ia lama tinggal di Jakarta, teman-teman Bonaga berbahasa Indonesia dan berlogat Kota Jakarta, sesekali mereka menggunakan bahasa Inggris. Sopir-sopir bajaj berlogat khas Betawi, dan partner proyek Bonaga berbahasa Jepang.
Garis besar film ini yaitu pada perbedaan kecintaan masyarakat zaman dahulu dan zaman sekarang terhadap para pahlawan pembela bangsa. Hal ini digambarkan pada sikap Nagabonar yang amat mencintai dan menghormati para pahlawan karena ia menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana mengusir para penjajah dari tanah air, sedangkan Bonaga dan teman-temannya tidak terlalu peduli akan hal itu. Anak muda zaman sekarang dapat menikmati hidup di negara yang sudah merdeka, tanpa tau bagaimana perjuangan para pahlawan selain secuil cerita dari buku-buku sejarah. Maka dari itu Nagabonar dengan tegas menolak kebun kelapa sawitnya dijadikan proyek pembangunan saat ia mengetahui bahwa partner proyek Bonaga berasal dari Jepang. Bagaimana tidak, dengan susah payah Nagabonar melawan penjajah Jepang masa itu, kini anaknya sendiri malah bermitra dengan orang Jepang. Namun pada akhir cerita, Bonaga menyadari bahwa ayah dan tanah airnya lebih penting dibanding proyek pembangunannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari