Analisis Novel Rojak Karya Fira Basuki Menggunakan Pendekatan Multikurturalisme Sastra
Novel Rojak karya Fira
Basuki ini bercerita tentang bagaimana kehidupan Janice, seorang peranakan atau
keturunan campuran Cina yang lahir di tanah Melayu, menikah dengan Setyo Putro
Hadiningrat seorang keturunan bagsawan Jawa. Janice yang biasa disapa Jan
merasa hidupnya menjadi amat memusingkan karena urusan kehidupan rumah
tangganya dicampuri oleh ibu mertuanya yang selalu memandang Jan salah dan
seakan menganggap rendah budaya asal Jan. Berikut kutipan-kutipan yang
menunjukan berbagai budaya yang dituangkan di dalam novel ini yang tak jarang
menjadi sebab-sebab konflik.
Jan
merupakan perempuan keturunan Cina dan Melayu,
“Kata
Ma, neneknya dari ibu orang Melayu, kakeknya orang Cina, jadi ia berdarah
peranakan. Sehari-hari Ma berbahasa Melayu, Singlish (Singapore English), serta
dialek utamanya, Hokkien dan sedikit mandarin.”,
“Peranakan maksudnya adalah keturunan campuran
Cina dan penduduk asal dan kemudian lahir di tanah Melayu.”,
“Kamu adalah new blood peranakan. Hasil hibrida.
Keluarga Pa datang dari daerah selatan Sungai Min di Provinsi Fuijan, Cina
sana. Tapi Ma peranakan Malaka dan kamu lahir serta dibedarkan di Singapura.
Kamu lancar berbahasa Inggris, apalagi Singlish, tapi bisa mengerti bahasa
Melayu dan tidak terlalu mengerti Hokkien...”
“Tradisi
menikah campur baru diterima secara meluas ketika puteri dari dinasti Ming,
Hang Li Poh, menikah dengan Sultan Manshur Shah dari Malaka. Sejak itu, hasil
pernikahaan campur Melayu dan Cina disebut Baba (pria) dan Nonya (wanita).”
Jan menikah campur
dengan Setyo Putro Hadiningrat yang merupakan keturunan Jawa dan ‘berdarah
biru’.
“Tapi
Ma dan Pa menyangka keluarga Hadiningrat sungguh keluarga berkuasa di Jakarta,
bak sultan-sultan di Malaysia, misalnya.”,
“Tahu
sendiri, orang berdarah Cina seperti kami ini sering menilai kebahagiaan hidup
identik dengan kemakmuran material.”
Kekayaan yang keluarga
Setyo miliki membuat kedua orang tua Jan mudah memberikan restu. Mereka juga
menganggap bahwa keluarga Setyo setara dengan keluarga sultan-sultan di
Malaysia.
Jan
dan Setyo menikah di Indonesia secara Islam dan dipestakan dengan sangat mewah.
Berbeda dengan pesta pernikahan sederhana yang biasanya sanak saudara Jan
selenggarakan di Singapura.
“Ketika
kami menikah secara Islam di Indonesia, kemudian pesta di hotel berbintang,
kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku yang sederhana berkomentar, ‘Alamak!
Syiok!’ (Astaga! Bagusnya!)”,
“Mereka
takjub, maklum di Singapura, perayaan standar adalah di restoran, atau untuk
kalangan Melayu, di void deck atau
ruang kosong bawah apartemen HDB dengan kursi-kursi putih dan meja bundar
plastik ditutup kain. Hanya cukup bunga-bunga plastik, balon, atau umbul-umbul
lidi ditutupi kertas krep.”
Dari kutipan di atas
sungguh terlihat bagaimana perbredaan respsi pernikahan yang biasa diselenggarakan
oleh orang berada di Indonesia dan orang sederhana di Singapura.
“Seperti
banyak hari sebelumnya, aku otomatis seperti menuju kamar untuk istirahat
karena energi atau bateraiku habis. Sayup-sayup kudengar ia bicara dalam bahasa
yang tak kumengerti, ‘Wis to beda. Nek
wong Jawa wedhok, urip matine kango bojone, anake, ngangkat derajat bojo lan
keluargane, utamane bekti karo wong tuwa.’ (Sudah pasti berbeda. Perempuan
Jawa hidup matinya cuma untuk suami, anak, mengunjung tinggi nama suami dan
keluarganya, terutama berbakti kepada orang tua.”
Melihat
Jan hendak beristirahat karena kelelahan mengurus keperluan suami dan anaknya
di pagi hari, Ibu mertua Jan menuding Jan ingin bermalas-malasan dan membandingkan Jan
dengan perempuan Jawa yang katanya hidup matinya untuk suami, anak, dan
keluraganya. Memang seringkali ibu mertua Jan itu membangga-banggakan perempuan
Indonesia dengan maksud menyindir Jan.
“‘Perempuan Indonesia
bisa jadi tidak cantik, tapi mereka selalu terlihat menarik,’ katanya. Aku
seperti merasa ada yang salah dengan penampilanku. Ia cukup berhasil membuatku
rendah diri.”
“Kubiarkan
saja perempuang berjarik itu bersenandung bersama Mei-Mei. Ia selalu saja
berbicara dan mengobrol dengan bahasa Jawa, entah sengaja agar aku tidak
mengerti (karena aku mengerti bahasa Indonesia yang mirip bahasa Melayu,
berhubung dulu di sekolah aku mengambil mata pelajaran ini dan ibuku seorang
Cina Malaka), entah agar cucunya lebih Jawa daripada Cina, atau entah ingin
agar aku tesindir.”,
“Mei-mei
kuajari lagu-lagu Cina, agar ia menyadari tubuhnya dialiri darah ini pula.
Sering kudengar Ibu menyanyikan dan mengajari Mei-Mei lagu-lagu Jawa. Aku
berusaha mengimbangi aksinya.”
Pada dua kutipan di
atas terlihat bagaimana dua orang yang lahir dengan budaya yang berbeda
menginginkan budaya mereka turun ke anak cucunya.
Bahkan
Nami Hadiningrat, ibu mertua Jan tidak menyukai kedua cucunya yang diberi nama
Bagus dan Meita dipanggil dengan panggilan Boy dan Mei-mei yang lebih menggambarkan
dua anak keturuna Cina.
“‘Suruh dia panggil
Bagus dan Meita,’ sahut Ibu dari ruang tengah. ‘Nama mereka Bagus dan Meita,
panggilannya Boy dan Mei-Mei,’ ujarku menjelaskan pada Ipah yang terlihat
bingung.”
Budaya
Jawa dan Cina sama-sama memiliki mitos atau kepercayaan. Namun dengan budaya
yang berbeda, berbeda pula mitos-mitos yang mereka percayai. Mitos atau ramalan
yang biasaya dipercayai masyarakat Jawa disebut primbon, sedangkan yang biasa
dipercayai masyarakat keturunan Cina disebut feng shui Cina.
“ Haruskah kukatakan
padanya bahwa menurut feng shui Cina, bunga, atau ranting kering tidak boleh
dipajang atau disimpan di dalam rumah karena akan membawa energi buruk.
Benda-benda mati yang tidak memiliki energi cuma akan mengundang vibrasi buruk
ke dalam rumah. Namun ketika Mas Set bersikeras bahwa orang Jawa juga punya
primbon dan sepertinya tidak menyinggung soal ranting-ranting kering sebagai
pajangan, aku diam saja.”
Salah
satu mitos yang disinggung dalam novel ini yaitu seorang perempuan dilarang
keluar rumah atau baru pulang selepas senja. Nami yang percaya jika perempuan
masih di luar rumah selepas senja akan terpengaruh auranya, selalu
mewanti-wanti Jan untuk pulang sebelum senja. Padahal Jan bekerja sebagai
reporter yang kadang pekerjaannya menuntut ia bekerja pada malam hari.
“Apalagi Ibu selalu
memastikan aku ada di rumah sebelum magrib. Padahal karena pekerjaanku, tak
jarang aku meliput berita di malam hari. Kata Ibu terang-terangan, perempuan
tidak baik berkeliaran selepas senja, bisa memengaruhi aura, menggoyangkan
keluarga dan membawa dosa.”
Kepercayaan
Cina yang dibahas dalam novel ini diantaranya mengenai karma dan filosofi
berbuat baik, Orang Cina percaya karma akan menimpa seseorang atau keluarga
orang yang telah melakukan hal yang di
luar norma manusia.
“Keluargaku
percaya karma, sebab akibat. Sebagai penganut aliran Taoisme dan segala paham
tradisional Cina lainnya, Ma percaya jika orang berbuat di luar norma manusia
nomal yang terhormat maka bentuk balasan akan berbalik ke dirinya sendiri atau
ke keluarganya.”,
“ Filosofi berbuat baik
Cina menyebutkan lima hal penting: ren
(suka menolong atau tidak egois), yi (adil),
lee (sopan atau tata krama), hsin (jujur), dan jir (bijaksana).”
Sedangkan
orang-orang Melayu dan Indonesia percaya bahwa perhiasan yang diletakkan di
bawah kasur dan dililit dengan rambut sendiri akan menambah kekayaan duniawi.
“ Di tempat tidur,
bawah bawah kasur! Ma menyimpan perhiasannya di sana, malah dililit rambut
sendiri dengan kepercayaan supaya perhiasan dan harta duniawi bertambah
panjang, seperti rambutnya. Sedangkan alasan menyimpan di bawah kasur, katanya
itu tempat teraman dan katanya kebiasaan itu dilakukan kaum Melayu, juga
orang-orang Indonesia.”
Ibunda
Jan yang biasa Jan panggil dengan sebutan Ma bukan seorang muslim. Sebenarnya
Jan pun terlahir bukan sebagai muslim, dalam novel diceritakan secara tersirat
bahwa Jan menganut agama Islam karena ia akan dipersunting oleh Setyo yang
beragam Islam. Makanan yang biasa dimakan keluarga Jan dan keluarga Setyo pun
sangat berbeda. Perbedaan tersebut jelaslah atas faktor budaya, lingkungan, dan
agama yang berbeda pula. Untuk menyambut kedatangan Nami, Ma Jan menyiapkan
berbagai hidangan, ia kaget saat diingatkan oleh Jan bahwa keluarga Setyo tidak
boleh memakan daging babi.
“‘Haiya! Forget! Lupa
lah! Can not eat babi pongteh or pork rib lemak hah?’ (Aduh! Lupa! Mereka tidak
bisa makan masakan babi atau tulang babi dengan santan ya?). Akhirnya, hari itu
Ma masak sambal kangkong, assam udang, dan nonya chap chye.”
Selain
tidak boleh memakan daging babi, agama Islam juga melarang penganutnya memakan
daging yang disembelih bukan dengan cara yang dianjurkan Islam.
“Aku tidak tahu apakah
standar halal Ibu sama dengan Mas Set, bahwa halal itu bukan berarti daging di
luar babi saja. Tapi, harus dipotong dengan cara pemotongan halal, didoakan
sebelum hewan disembelih dan dipotongnya di leher.”
Di
dalam novel ini diceritakan bahwa Jan menyewa seorang pembantu asal Indonesa
bernama Suipah yang biasa dipanggil Ipah. Ipah tinggal di daerah Parung, Bogor,
Jawa Barat. Ipah menguasai beberapa tarian asal Betawi dan Jawa Barat.
“... ‘Menari apa?’
tanyaku setengah percaya, Ia mengangguk, ‘Tari topeng Betawi, Jaipong,
tari-tarian tradisional Betawi,’ ujarnya. ‘Oh kamu orang Jakarta asli?, ...,
Bukan Jakarta. Tapi Parung, Madam. Orang Parung tidak persis Betawi, tapi seperti
campuran antara Betawi dan Sunda, karena memang Parung terletak di
tengah-tengah. Malah ada yang disebut daerah Parung Bingung, karena memang dulu
penduduknya bingung mesti jadi orang Betawi atau orang Sunda.”
Saat
Ipah datang ke apartemen milik Jan dan Setyo, Jan bersikap ramah kepada Ipah
dengan mulai mengajaknya berkenalan dan bertanya sedikit mengenai tempat
tinggal Ipah di Indonesia. Namun berbeda dengan Nami dan Setyo, mereka sedikit
terlihat angkuh di hadapan Ipah. Ia tidak menjulurkan tangannya untuk
bersalaman dengan Ipah. Setyo hanya sedikit tersenyum kepada Ipah. Nami dan
Setyo yang dulunya tinggal di rumahnya yang amat besar dengan banyaknya
pembantu, membuat mereka kurang menghargai dan memandang Ipah tidak sederajat
dengan mereka.
“Ibu
menatap Ipah dari atas sampai bawah. Kemudian ia melenguh dan membalikkan
badan.”,
“Mas Set tersenyum dan
mengangguk. Karena Mas Set tidak menjulurkan tangan, Ipah seperti tahu diri
untuk cuma tersenyum dan mengangguk. Mas Set hanya membantu Ipah mengangkat
koper itu untuk diteruskan didorong sendiri oleh Ipah. Oh mungkin begitu cara
orang Indonesia atau orang Jawa berkenalan, pikirku. Mungkin Ibu dan Mas Set
menganggap dirinya berstatus lebih tinggi, jadi mereka menjaga jarak.”
Pada
masa yang semakin modern ini masih banyak orang yang menggunakan hal gaib untuk
mendatangkan perhatian, keuntungan, dan cinta dengan cara mengirim santet, pelet,
pasang susuk dan sebagainya. Hal itu dapat dilakukan dengan bantuan dukun. Ipah
seorang penari yang semakin hari semakin tersohor membuat penari lain merasa
iri. Tariannya yang dianggap sensual juga mengundang berahi para lelaki hingga
ada orang yang mengirim santet dan pelet kepada Ipah.
“...
Ada apa dengan Ipah? Diperhatikannya tangan dan kaki Ipah yang menggembang dan
badan meriang, ia tahu telah terjadi guna-guna buatan orag dengki.
Didatangkannya Mbah dukun dari kampung seberang, yang berkata Ipah tealah diserang.”,
“
... Ipah diberi jampi-jampi dan penangkal. Sekalian dimasukkan benda-benda
gaib, batu berkilau dari alam katanya, ke dahinya sebagai aji perawan. Aji ini
katanya akan membuat itunya megap-megap seperti perawan. Wajahnya bersinar bak
seribu bintang. Tubuhnya wangi seperti kembang setaman. Dan hidupnya akan
melanglang, bak seorang jutawan. Pokoknya, hidup ini rupawan.”,
“Tapi
suatu malam, Ipah melihat Mul bersabuk hitam, berisi tulisan-tilisan penarik
perempuan. Ipah dipelet.”,
“Kita cari bomoh, semacam dukun di Indonesia. Saya
ada teman kenal bomoh asal Penang.
Kerjanya dulu diminta tolong orang-orang Melayu mengguna-guna kaum Cina.”
Nami
yang merupakan bagian keluarga bangsawan, menjunjung tinggi nilai kesopanan
dalam berpakaian. Tepatnya setelah ia menjadi istri Dhimas Hadiningrat. Karena
sebelum menikah ia adalah seorang model yang sudah pasti berpenampilan cantik
dan seksi. Nami yang telah berubah menjadi seorang istri dan ibu yang juga
berstatus bangsawan, geram melihat Ipah berpakaian terbuka di dalam apartemen
anaknya. Hal itu sangatlah bertentangan dengan budaya atau kebiasaan yang selama
ini ada di lingkungan Nami.
“‘Aku
ingatkan dia untuk tidak memakai celana pendek lagi di rumah. Tidak sopan,’
kata Ibu.’, ‘Tidak sopan. Apa kata tetangga? Belum lagi di rumah ini ada
laki-laki, suamimu,’ ujar Ibu sambil menatapku tajam. ‘Beri tahu dia Jan, tidak
sopan,’ kata Ibu sambil berjalan ke arah Mei-Mei.”
Berkali-kali Nami
mengatakan bahwa Ipah tidak sopan. Karena memang dalam pandangannya, pakaian
yang digunakan Ipah sangatlah keluar dari norma kesopanan juga dapat mengundang
perhatian para lelaki dan gunjingan tetangga.
Nami
layaknya orang-orang Jawa, apabila akan mengungkapkan sesuatu, ia tidak akan
langsung pada pokok pembicaraan. Pastilah membicarakan ini itu sebagai
pengantar sebelum poin pentingnya ia sampaikan.
“Tapi
si Ibu itu, namanya juga ‘ratu’ sudah pasti pendapatnya keluar juga walaupun
seperti layaknya orang Jawa, disampaikan secara berbelit-belit.”,
“Aku tidak pernah tahu,
ternyata ini yang dikatakannya setelah berbelit-belit mengatakan ia menyayangi
aku.”
Dalam
budaya Cina, orang yang meninggal haruslah dikremasi atau dibakar. Mereka
percaya manusia berasal dari debu dan kembali menjadi debu. Pandangan ini pada
dasarnya sama dengan pandangan umat Muslim. Namun bedanya, umat Muslim
menyerahkan proses kembalinya manusia menjadi debu, kepada alam. Membiarkan
manusia menyatu dengan tanah dan perlahan menjadi tanah.
“‘Manusia
berasal dari debu dan kembali menjadi debu’, ‘tapi menurut aturan Cina, debu
dibikin manusia. Lihatlah Ma, kini menjadi debu di dalam kotak itu, di sebelah
kotak Pa. Aku sebenarnya lebih setuju penguburan, proses alami. Bukan karena
aku sekarang Islam – karena aku toh
tidak mengerti dan tidak menjalankan – tapi karena aku tidak mau merasa
bersalah menghangussebukan Ma.”
Dalam
budaya Cina juga, jiwa orang yang
meninggal menempuh perjalanan yang amat panjang. Untuk mempermudah perjalanan
jiwa tersebut, keluarga bisa membantunya dengan cara melakukan upacara pengirimna
doa dengan cara-cara Cina.
“Tapi paling tidak
ketika Pa meninggal, kami mengadakan upacara secata Tao atau secara Cina,
dengan doa, dupa, dan uang-uang yang dibakar untuk memudahkan perjalanannya.”,
“Menurut kepercayaan Cina, orang yang meninggal jiwanya membutuhkan tujuh
minggu perjalanan menuju lembah kematian atau dunia yin. Ia harus melewati sembilan pengadilan untuk pembayaran atas
perbuatannya di dunia, baru ketika mencapai pengadilan ke sepuluh, ia bisa
reinkarnasi kembali sesuai dengan amal baik atau dosa dalalm kehidupan sebelumnya.”
Comments
Post a Comment