Ulasan Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck Karya Buya Hamka

Karamnya Pengharapan Zainuddin


Masya Allah. Berulang kali kalimat itu saya ucapkan di awal membaca novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Bukan lantaran telah hanyut dalam kesedihan Zainuddin, tetapi karena pusing, tidak mengerti istilah-istilah, sebutan-sebutan dalam keluarga, juga pribahasa Minangkabau. Saya juga mengalami kesulitan dalam mengimajinasikan latar tempat, khusunya latar Rumah Gadang. Bagian-bagian Rumah Gadang banyak dijelaskan tetapi saya tidak mengerti. Kalau saja sebelumnya saya tidak menonton film dari novel ini, mungkin saya akan lebih pusing lagi daripada ini. Karena sudah menonton, saya sedikit terbantu, dapat menerka-nerka kalimat-kalimat sulit dalam novel ini. Kesulitan memahami isi novel hanya saya alami di bab pertama saja, dan mulai terbawa dalam cerita di bab-bab selanjutnya.
            Memang benar yang dikatakan orang, film yang diadaptasi dari sebuah novel diibaratkan sebagai waduk, sedangkan novel itu sendiri adalah sebuah lautan. Banyak cerita-cerita yang tidak ditampilkan di dalam filmnya, salah satunya adalah kisah tentang ayah Zainuddin yang dibuang ke Makassar. Padahal itulah yang menjadi akar permasalahan mengapa Zainuddin dikucilkan di kampung halamannya sendiri. Bahkan akhir cerita pada film, dibuatnya berbeda dari novel. Di dalam film diceritakan bahwa Zainuddin kembali bangkit dan lanjut berkarya setelah kematian Hayati. Sedangkan yang ada di dalam novel, semangat menulis dan kesehatan Zainuddin semakin menurun, kemudian meninggal dunia dan dikuburkan di sebelah kuburan Hayati.
            Sedikit akan saya ulas, novel ini menceritakan kisah hidup seorang pemuda yang sedari kecilnya sudah ditimpa nasib malang. Zainuddin namanya. Zainuddin adalah anak dari seorang ayah berdarah Minangkabau dan ibu berdarah Bugis. Di kampung ayahnya ia dianggap orang Makassar, dan di Makassar ia dianggap orang Minangkabau. Yatim dan piatu. Merantau ke tanah kelahiran ayahnya, ia bertemu dengan seorang gadis cantik, kembang desa Batipuh, yang lahir dari keluarga terpandang, dan kemenakan seorang datuk. Hayati mengasihani Zainuddin dan lama-kelamaan mencintainya, memberikan harapan padanya, bahkan berjanji akan setia menunggu Zainuddin saat Zainuddin diusir oleh mamak Hayati, dari Batipuh ke Padang Panjang lantaran dianggap mencoreng nama besar nenek moyang Hayati.
            Hamka memberikan wawasan kepada pembaca dengan menceritakan bagaimana kebiasaan, adat istiadat, dan perangai orang-orang zaman dahulu, yang khususnya orang-orang Minangkabau dan Makassar. Di masa itu masyarakat Minangkabau masih sangat memegang teguh adat istiadat tanah mereka, menjunjung tinggi nama baik keturunan, salah satunya dengan cara menikahkan anak cucu mereka dengan orang yang berketurunan baik pula di Minangkabau. Saking mencintai adat istiadatnya, kebanyakan dari mereka menganggap rendah adat istiadat dan keturunan lain. Layaknya Zainuddin yang tak diterima pinangannya oleh keluarga Hayati lantaran ia dianggap bukan keturunan Minangkabau tulen. Dianggapnya Zainuddin tidak jelas asalnya. Bukan hanya perkara garis keturunan, tetapi juga uang. Tidak berebeda jauh dengan orang-orang di masa kini, kebiasaan zaman dahulu pun sama, orang yang memiliki banyak uang akan lebih terpandang dibanding dengan orang-orang miskin.
            Novel ini juga memperlihatkan bagaimana pergaulan anak muda zaman dahulu yang masih sangat menjunjung tinggi kesopanan. Laki-laki dan perempuan masih belum bercampur-baur. Apabila bertemu di jalan, saling menundukan pandangan, atau sekedar menyunggingkan senyum dan bertegur sapa dengan sopan tanpa bisa berlama-lama bicara. Untuk dapat saling mengenal satu sama lain lebih dalam, yang dapat mereka lakukan hanyalah surat-menyurat. Akan tetapi dianggapnya haram, aib, dan cela besar apabila isi surat-surat itu adalah mengenai percintaan. Hal itu sudah dianggap melewati batas kesopanan. Sangat berbeda dengan kebiasaan anak muda masa kini.
            Hamka membuat tokoh Zainuddin sebagai pemuda yang berperangai baik, berbudi, berilmu, dan penyabar. Zainuddin ditimpa kemalangan bertubi-tubi sedari kecilnya, yatim dan piatu, tidak diterima di tanah nenek moyangnya, dikhianati cintanya, dan ditinggal kawin oleh kekasihnya. Nasib buruknya itu sempat membuat Zainuddin berputus asa, akan tetapi akhirnya ia bangkit, memanfaatkan kepandaiannya menulis hikayat, hingga akhirnya ia menjadi penulis mahsyur. Dari situlah ia menjadi orang yang berkecukupan akan materi dan terpandang pula, akan tetapi perkara hati masih tak berubah sama sekali. Tetap ia meradang lantaran kekasihnya telah menjadi istri orang lain. Istri seorang keturunan Minangkabau yang berlimpah hartanya, Aziz.
            Kisah Zainuddin dapat kita ambil pesan yang tersirat di dalamnya. Tuhan tidak tidur, Tuhan selalu memerhatikan kita. Kepatahhatian dan musibah yang datang silih berganti bukan Tuhan turunkan kepada makhluk-Nya untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan, membangkitkan, dan menjadikan motivasi agar kita mau meningkatkan kualitas diri dari kita yang sebelumnya. Sosok Zainuddin pula dapat kita jadikan contoh. Kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup akan ada imbalannya di suatu masa, ilmu dan kemampuan yang terus digali akan ada manfaatnya, juga tekad, juang, dan doa dapat mengubah nasib. Meskipun takdir telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, tetapi kita sebagai insan dituntut untuk tidak berputus asa.
Sehat akan ada sakitnya, sakit akan ada sembuhnya. Itulah kehidupan, bagai roda pedati yang berputar. Maka dalam keadaan jaya kita harus mengingat kemiskinan, memedulikan sesama, menghargai mereka yang sedang berada di bawah, karena akan ada masanya juga kita merasakan hal yang sama dengannya. Seperti yang dialami oleh Hayati dan Aziz. Dahulunya Hayati mengkhianati cinta Zainuddin, dan Aziz menghinakan Zainuddin lantaran miskinnya. Namun akhirnya Hayati dan Aziz merasakan apa yang dirasakan Zainuddin dahulu, mereka jatuh miskin. Pada kasus ini lagi-lagi Zainuddin dapat dijadikan contoh. Meskipun Hayati dan Aziz pernah melukai hatinya, ia tetap dermawan, menolong mereka pada saat mereka berada dalam kesulitan. Kedermawanan Zainuddin lainnya yaitu, ia mau membiayai anak-anak muda yang ingin menikah tetapi tidak memiliki uang untuk melangsungkan pernikahannya. Zainuddin membantu mereka, ia tak ingin ada orang lain yang merasakan bagaimana sakitnya gagal menikahi orang terkasih.
Salah satu kalimat yang saya garis bawahi dalam novel ini adalah Jangan sampai terlintas dalam hatimu, bahwa di dunia ada satu kebahagiaan yang melebihi bahagia cinta. Kalau kau percaya kebahagiaan selain cinta, celaka diri kau. Kau menjatuhkan ponis kematian ke atas diri kau sendiri. Kalimat itu adalah kalimat yang terdapat di dalam surat Zainuddin untuk Hayati. Betapa Zainuddin menggantungkan hidup dan harapannya pada cinta. Benar seperti yang terjadi pada dirinya, ia hidup dalam kecukupan, tetapi tak ada gairah di dalamnya karena tak berhasil ia dapatkan wanita yang dicintainya itu. Dan terjadi pula hal yang sama pada Hayati, ia tergiur dengan kehidupan mewah yang diiming-imingin keluarga oleh Aziz, hingga akhirnya meninggalkan Zainuddin, mengkhianati janji dan sumpahnya, akan tetapi pada akhirnya ia terjerumus dalam pilihannya sendiri. Rumah tangga Hayati tak bertahan lama, ia dijatuhkan talak melalui surat, dan suaminya mati bunuh diri.
            Dendam adalah racun yang berbahaya apabila hinggap di hati seseorang. Kisah ini memperlihatkan kepada kita bahwa dendam membawa petaka bagi orang yang memendamnya. Zainuddin sedikit menyimpan dendam dan sakit hati lantaran dahulunya ia dihinakan keluarga Hayati. Ketika Hayati ingin kembali padanya, meski ia sendiri masih mencintai Hayati, Zainuddin memilih untuk menolak karena ia masih ingat jelas bagaimana penghinaan keluarga Hayati dan pengkhianatan Hayati akan cintanya. Dendam itulah yang membuat kisah cintanya berakhir tragis. Disuruh pulangnya Hayati ke kampung halaman dengan menumpangi Kapal van Der Wijck, kapal itu karam, bersama dengan Hayati, dan pengharapan Zainuddin. Selepas itu barulah Zainuddin menyesali keputusannya.
            Dari kisah Zainuddin dan Hayati, Hamka menyiratkan banyak pesan kepada setiap pembacanya. Meskipun berakhir tragis, cinta Zainuddin akan Hayati dapatlah kita jadikan contoh. Baik terbalaskan atau pun tidak, cinta bisa kita jadikan motivasi untuk meningkatkan kualitas diri. Karena pada hakikatnya, cinta bukan mengajar kita untuk lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.

            Meskipun akhir cerita novel ini tidak sesuai harapan saya, novel ini masuk ke dalam daftar novel terbaik yang pernah saya baca. Kalimat yang dirangkai Hamka sangatlah puitis, dan saya anggap berhasil mendeskripsikan perasaan-perasaan cinta Zainuddin dan Hayati. Berhasil juga membawa saya larut dalam kesedihan Zainuddin, dalam tiap-tiap kemalangan yang menimpa Zainuddin. 

Comments

  1. Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan, kau minta maaf? siapakah yang kejam diantara kita, Hayati?
    Pantang pisang berbuah dua kali. pantang pemuda makan sisa.

    #Hayatilelah #bunuhHayatidirawarawa #Zainuddinggaksukapisang

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari