Resensi Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer

Resensi Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer

Postingan pertama saya ini adalah sebuah resensi dari novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, yang pada awalnya saya buat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Prosa Fiksi. Sebagai pembuka, saya ingin sedikit bercerita tentang bagaimana akhirnya tulisan ini dapat saya mulai. Dengan keterbatasan uang saku mahasiswa, saya merelakan tiga lembar uang sepuluh ribuan ditukar dengan sebuah novel bajakan yang dijual di daerah Pakupatan, Serang. Saya berhasil membawa pulang novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer setelah berjuang, bernegoisasi dengan si Ibu penjual yang amat jutek, mempertahankan keinginannya untuk menjual novel tersebut dengan harga empat puluh lima ribu rupiah. Apalah daya saya mahasiswa pas-pasan, untuk memenuhi tugas mata kuliah apresiasi karya sastra saja, saya malah membeli novel versi bajakan yang sama saja dengan tidak mengapresiasi penulisnya. Maafkan saya, Pak Pram.

 Identitas Buku
·         Judul                    : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
·         Penulis                  : Pramoedya Ananta Toer
·         Penerbit                : Lentera Dipantara
·         Kota Terbit           : Jakarta
·         Tahun Terbit         : 2003
·         Tebal Buku           : 132 Halaman

Sinopsis
            Novel ini merupakan hasil “reportase” singkat Pramoedya Ananta Toer di wilayah Banten Selatan yang subur tetapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang subur tapi masyarakatnya miskin, kerdil, tidak berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.
            Tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tapi semangat hidup tak boleh redup. Menurut Pram, semangat hidup itulah yang membuat seseorang bisa hidup dengan terus bekerja. Bertolak dari situ Pram bertekad kuat mengorbankan semangat untuk tidak ongkang-ongkang kaki menanti ajal melumat.

Ulasan
            Novel karya Pramodya Ananta Toer yang dibuat atas dasar reportasenya di Banten Selatan ini merupakan novel “serius” yang pertama kali saya baca. Selama ini saya hanya menikmati novel-novel populer saja karena beranggapan bahwa novel “tua” dan  “serius” yang dikarang oleh sastrawan ulung memiliki jalan cerita yang “berat” dan membosankan karena ber-setting pada zaman yang amat berbeda dengan zaman di mana saya hidup. Namun setelah saya membaca novel ini, anggapan itu seketika hilang. Saya menikmati setiap suasana yang digambarkan oleh penulis. Saya seakan diajak mencicipi kegetiran hidup dan semangat juang pemeran utamanya, Ranta.
            Cerita pada novel ini dimulai dengan penggambaran ketenangan suasana alam di sebuah desa. Ketenangan di desa itu amat bertolak belakang dengan hati, pikiran, dan kehidupan masyarakat yang menduduki desa tersebut. Sang pemeran utama, yaitu Ranta, hidup dalam jerat kemiskinan. Beban yang dipikul Ranta menjadi amat berat saat Ranta dipaksa Juragan Musa untuk mencuri bibit karet di perkebunan. Juragan Musa adalah tuan tanah yang suka memperbudak rakyat kecil. Pada awalnya, Ranta segan dan selalu tunduk atas perintah Juragan Musa, namun setelah ia diperintahkan untuk mencuri bibit karet dan diupahi dengan pukulan rotan pada tubuhnya, Ranta mencoba bangkit, menguatkan diri untuk tidak takut lagi dan akan melawan Juragan Musa.
            Selain Juragan Musa, musuh besar rakyat Banten Selatan adalah Daarul Islam (DI). Gerombolan DI selalu memaksa rakyat untuk mederita dengan cara memperbudak,  mengobrak-abrik pasar, merampas, menyiksa, bahkan membunuh. Yang mengherankan adalah rakyat kecil tak luput dari rampasan dan siksaan DI, akan tetapi Juragan Musa yang notabenenya adalah tuan tanah yang kaya, tak pernah sekalipun diusili oleh DI.
            Ranta melaporkan kejanggalan yang ada di antara DI dan Juragan Musa kepada Komandan OKD. Laporan Ranta diperkuat dengan bukti yang Ranta bawa, yakni aktentas milik Juragan Musa yang tertinggal di depan rumah Ranta saat Juragan Musa lari terbirit-birit lantaran takut dihajar Ranta yang tengah murka. Ternyata isi aktentas tersebut adalah surat-surat milik DI. Isi aktentas itu menguak kenyataan bahwa Juragan Musa adalah seorang Residen DI. Juragan Musa ditahan, kemudian Ranta diangkat menjadi Lurah.
            Lantaran telah menangkap kaki tangan DI, nasib Ranta semakin terancam karena gerombolan DI akan membalas dendamnya kepada Ranta dengan cara menyerang seluruh desa. Ranta dan Komandan OKD mulai menyiapkan strategi. Ranta menginginkan persatuan dan gotong-royong seluruh masyarakat desa untuk melawan DI. Kemudian pecahlah pertempuran antara DI dan OKD beserta rakyat Banten Selatan. Pertempuran itu dimenangkan oleh rakyat.  
            Pertempuran itu membuat mata rakyat terbuka, mereka menyadari bahwa persatuan dan kerja sama lah yang membuat mereka kuat, membuat mereka keluar dari belenggu DI. Kerja sama dan gotong-royong saat pertempuran tetap dipertahankan rakyat untuk mengembalikan kesejahteraan desa. Rakyat berduyun-duyun bekerja sama memperbaiki dan membangun vitalitas desa.
            Dalam novel ini penulis menceritakan bagaimana penindasan-penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kuat kepada rakyat-rakyat lemah. Hingga tetap terjalinnya lingakaran setan, dimana yang kuat semakin kuat dan yang lemah semakin lemah. Kemudian penulis menciptakan seorang tokoh yang dapat mengubah keadaan tersebut. Sosok Ranta dibuatnya dengan jiwa yang cinta akan persatuan. Ranta bosan berputus asa, kemudian ia bangkit dengan mengumpulkan semangat juang rakyat demi melawan para penindas.
            Salah satu ucapan Ranta yang menarik perhatian saya sekaligus menggambarkan keseluruhan dari novel ini adalah “Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, tapi dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar...” Kalimat ini seakan menjadi bahan bakar semangat Ranta untuk menegakkan kebanaran.
            Jika diamati unsur intrinsiknya, novel ini memiliki alur maju. Sesuai dengan judulnya, novel ini memang menceritakan “sekali peristiwa”. Ceritanya dimulai dengan kesengsaraan rakyat, persatuan rakyat, perjuangan rakyat, kemudian kemenangan dan berakhir damai. Bagian orientasi, pemunculan konflik, klimaks, dan antiklimaksnya terlihat sangat jelas dan rapi. Hal ini yang membuat pembaca dapat dengan mudah terbawa ke dalam cerita. Bahkan pembaca semacam saya yang cukup buta akan sejarah, yang pada awalnya tidak paham apa itu DI dan apa yang dilakukan DI, tetap dapat menikmati cerita, terbawa pada alurnya, juga ikut merasakan segala emosi yang tokohnya rasakan.
            Meski begitu, saya juga menemukan sedikit kekurangan pada novel ini, novel ini membuat saya bertanya di akhir halaman, “Inikah akhirnya?”. Gambaran pertempuran antara DI dengan rakyat dijelaskan dengan kurang gamblang, kurang detail, sehingga saya tidak merasakan euforia kemenangan yang diraih oleh rakyat. Saya seakan tak percaya pertempuran itu dimenangkan oleh rakyat. Ranta sempat menjelaskan bahwa rakyat hanya diberi pelatihan singkat untuk turun melawan DI, bahkan rakyat hanya mengandalkan bambu runcing, jebakan, dan alat-alat sederhana, sedangkan rombongan DI menggunakan senjata api.
            Saya merasa novel ini seperti cerita pendek yang dibuat lebih panjang. Berbeda dengan novel-novel yang pernah saya baca, yang biasanya memiliki konflik yang pasang surut. Novel ini memiliki konflik yang begitu fokus di satu titik kemudian berakhir. “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”, jika melihat kembali pada judul novel, memang benar jika cerita di dalamnya dikemas dengan konflik yang sekali naik ke puncak klimaks kemudian turun ke antiklimaks dan berakhir. Penulis sengaja menyajikan cerita yang memberikan kesan “sekali peristiwa”.
            Terlepas dari kelebihan dan kekurangan pada novel ini, saya pribadi menyukai cara penulis menyampaikan amanat-amanat untuk selalu memperjuangakan kebenaran,  menjunjung tinggi persatuan, gotong royong, kerja sama, dan tidak berputus asa atas beban dan cobaan hidup. Hasil reportase penulis atas kejadian yang ia saksikan sendiri di Banten Selatan, membuat saya pribadi akhirnya mengetahui bahkan mengerti apa yang dirasakan, dialami, dan diperjuangkan oleh rakyat tanpa harus membuka buku sejarah yang membosankan.

            

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

Ulasan Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis

Ulasan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari