Ulasan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
SEPULUH
BOCAH KAMPUNG SANG INSPIRATOR
Izinkan saya untuk memuji mahakarya
Andrea Hirata yang berjudul Laskar
Pelangi sepanjang laporan baca saya ini. Novel yang menyandang label best seller ini sudah lama saya kenal,
tetapi baru kali ini saya berkesempatan untuk membacanya. Bahkan saya adalah salah
satu dari segelintir manusia Indonesia yang sampai saat ini belum pernah
menonton film yang diangkat dari novel ini. Sangat tertinggal. Namun di kali
pertama membaca novel ini, saya dibuatnya jatuh cinta.
Sebelum mengorek isi dari novel, saya
akan sedikit menjelaskan makna yang saya tangkap dari judul novel ini. Laskar Pelangi, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Laskar berarti tentara; kelompok serdadu; atau pasukan.
Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh penulis di dalam novel ini, nama Laskar Pelangi diambil karena novel ini
menceritakan sekelompok bocah yang terdiri dari Ikal, Lintang, Mahar, Trapani,
Sahara, Syahdan, Kucai, A Kiong, Samson, dan Harun yang sama-sama mencintai
pelangi. Sepuluh nama itu diberikan nyawa oleh Andrea Hirata dan dijadikannya
manusia-manusia hebat. Mereka mengajarkan arti tabah, syukur, perjuangan, semangat belajar, meraih mimpi, cinta,
persahabatan, dan kekeluargaan. Tiga puluh empat bab dalam novel ini
membingkai cerita-cerita mereka yang sangat menginspirasi dan dapat dijadikan
pelajaran bagi pembacanya. Kata laskar yang berarti tentara juga melambangkan
karakter kesepuluh anak ini. Tentara identik dengan tekad, fisik, dan mental
yang kuat, perjuangan, persatuan, dan pantang menyerah. Kesepuluh bocah yang
dapat dijadikan inspirator ini memiliki karakter yang telah saya sebutkan di
atas. Sedangkan pelangi yang identik dengan paduan warnanya yang cantik,
melambangkan keceriaan dan harapan mereka di masa depan.
Tabah
dan syukur. Dalam segala
keterbatasan, Ikal dan kawan-kawan tetap tabah. Keterbatasan itu tak
menghalangi minat mereka dalam belajar. Mengenyam pendidikan di sekolah kampung
yang hampir rubuh bukan menjadi penghalang mereka untuk memperbaiki garis
kemiskinan yang terus diturunkan dari nenek moyangnya. Meski bersekolah di
tempat yang atapnya selalu bocor saat hujan, hanya memiliki segelintir guru
yang dapat dihitung dengan jari, belajar dengan fasilitas sekolah yang sangat
minim, mereka tetap tabah. Ketabahan mereka diiringi pula dengan rasa syukur.
Bagaimana mereka tidak bersyukur, dapat bersekolah saja sudah mereka anggap
sebagai kemewahan. Terlahir dari keluarga miskin dan hidup di kawasan
orang-orang miskin yang kebanyakannya tidak pernah mengenyam pendidikan,
membuat mereka bersykur. Adanya sekolah PN Timah yang diceritakan memiliki
fasilitas sangat lengkap tak membuat mereka mendongak ke atas, merasa kecil
hati, dan iri sama sekali. Betapa hebatnya mereka. Seandainya seluruh anak
bangsa memiliki rasa syukur yang sama dengan Laskar Pelangi, saya yakin negeri
ini akan lebih maju karena apa yang telah kita miliki dapat kita manfaatkan
dengan semaksimal mungkin. Tetapi pada kenyataannya, mayoritas anak bangsa yang
memiliki kesempatan belajar lebih mudah, dengan dilengkapi fasilitas malah
tidak memanfaatkan fasilitas tersebut dengan baik. Teknologi yang semakin
mempermudah aktifitas malah dijadikan alasan untuk bermalas-malasan.
Perjuangan
dan semangat belajar. Nilai
perjuangan dan semangat belajar dalam novel ini sangatlah kental. Perjuangan
Lintang untuk bersekolah setiap hari adalah yang paling saya garis bawahi sebagai
contoh perjuangan. Lintang yang tinggal di pesisir laut harus menempuh jarak 40
kilometer untuk mencapai sekolahnya dengan menggunakan sebuah sepeda. 40
kilometer pula harus ia tempuh untuk kembali sampai ke rumah. 80 kilometer
sehari dengan segala halang rintang yang berat, melewati rawa yang penuh dengan
buaya, berangkat sebelum matahari terbit, ia lakukan hampir setiap harinya. Tak
pernah sekalipun ia bolos sekolah, tak pernah surut semangat belajarnya.
Meskipun jarak sekolah dengan rumahnyalah yang paling jauh, Lintang tak
menjadikan hal itu sebagai halangan untuk terus belajar. Bahkan di antara
teman-temannya, Lintanglah yang paling unggul, tak pernah ada yang mengalahkan
peringkat satunya di kelas. Bab-bab yang menceritakan kecerdasan Lintang pada
novel ini membuat saya sangat kagum. Menurut saya untuk mendeskripiskan dan
menggambarkan sosok yang amat cerdas tidaklah mudah. Dalam menggambarkan
kecerdasan Lintang, Andrea Hirata sering menuangkan berbagai macam teori yang
berbau saintis, dan saya yakin, beliau tidaklah asal menuliskan teori-teori
tersebut, melainkan beliau juga paham betul. Hal ini yang menjadikan saya tak
hanya mengagumi novel ini, tetapi juga penulisnya.
Jika
kembali kita lihat pada realitas, semangat belajar yang dimiliki Lintang sangat
jarang kita temui dalam diri anak-anak Indonesia kebanyakan. Tetapi saya
percaya, jiwa-jiwa seperti Lintang benar-benar ada, benar-benar hidup di diri
beberapa masyarakat Indonesia. Sering saya dengar, anak-anak dari wilayah yang
terpencillah yang memiliki kualitas tinggi. Wakil Indonesia dalam
kejuaraan-kejuaraan pendidikan tingkat dunia tak jarang adalah mereka yang
terlahir dan mengenyam pendidikan di wilayah terpencil dengan fasilitas yang
sangat minim. Memang, mereka yang harus berjuang terlebih dahulu untuk
mendapatkan sesuatu adalah orang-orang yang paling menghargai segala hal.
Meraih
mimpi. Sebelum masuk ke dalam SD Muhammadiyah, bertemu
dengan teman-teman, dan bapak ibu guru, kesepuluh bocah ini tak pernah berani
bermimpi. Masuk ke SD Muhammadiyah memanglah bentuk harapan untuk hidup lebih
baik dari orang tuanya, tetapi mereka tak pernah sedikitpun bermimpi menjadi
‘orang-orang besar’ di suatu hari nanti. Berjumpa dengan teman-teman setiap
hati, mendapatkan ilmu dan motivasi dan ibu-bapak guru, dan
pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan di sekolah lah yang membuat mereka
mulai berani menaruh harapan lebih tinggi. Mereka mulai bercita-cita. Cita-cita
yang perlahan mulai mereka tentukan itu menjadi semacam bahan bakar yang
memperkuat semangat belajar mereka. Lagi-lagi saya temukan pelajaran dari novel
ini. Mereka yang serba keterbatasan saja memiliki semangat yang berkobar dalam
meraih cita-cita, maka orang-orang yang memiliki nasib lebih baik dari mereka
haruslah memiliki semangat yang lebih besar untuk mewujudkan cita-cita.
Cinta.
Selain nilai-nilai tentang pendidikan yang telah saya jelaskan di atas, novel
ini juga memuat cerita ‘cinta monyet’ yang tulus. Yakni cinta Ikal terhadap
gadis keturunan Tionghoa, anak dari pemilik Toko Sinar Harapan, bernama A Ling.
Cerita cinta Ikal terhadap A Ling menjadi selingan yang menyegarkan di antara
cerita-cerita lain yang bernilai motivasi tinggi. Pada cerita Ikal dan A Ling,
Andrea Hirata menggambarkan bagaimana semangat dan pandangan positif terhadap
dunia muncul pada diri orang yang sedang jatuh cinta. Bau busuk pasar seketika
berganti menjadi wewangian toko parfum saat Ikal saling bertatapan dengan A
Ling. Bahkan bakat terpendam Ikal, yakni merangkai kata-kata menjadi sebuah
puisi mulai muncul saat Ikal jatuh cinta pada A Ling. Cinta dapat menjadi roda
penggerak semangat dan motivasi bagi seseorang. Selain cinta Ikal pada A Ling,
ada cinta yang lebih besar yang tersirat dalam novel ini, yakni cinta Bu
Muslimah dan Pak Harfan kepada anak-anak didik mereka.
Selain sepuluh anak kampung kumal yang
memiliki semangat belajar yang tinggi itu, Bu Muslimah dan Pak Harfan juga
sosok yang dapat kita jadikan contoh. Mereka adalah dua orang guru yang
benar-benar layak mendapat gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka
bukanlah sekedar guru, mereka memposisikan diri mereka sebagai orang tua dari
seluruh anak didiknya. Mereka memberi ilmu dengan cinta, dengan ketulusan,
dengan kesabaran, dan dengan kasih sayang, meski imbalan yang mereka terima
sama sekali tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mereka adalah guru dambaan
setiap murid. Apabila guru memberikan ilmunya dengan cinta, tulus, dan ikhlas,
maka akan dengan mudah pula ilmu-ilmu itu diterima oleh anak didiknya. Bu Mus
dan Pak Harfan adalah sosok guru yang percaya bahwa ikatan seorang guru dengan
murid bukan hanya pada kewajiban belajar mengajar, tetapi juga ikatan batin
layaknya ikatan anak dengan orang tua. Tak bosan saya menyatakan bahwa novel
ini sangat menginspirasi, memotivasi, dan kaya akan nilai-nilai yang patut
dicontoh berbagai kalangan.
Persahabatan
dan
kekeluargaan. Sepuluh orang anak
kampung yang miskin dan memiliki semangat belajar yang tinggi dikumpulkan dalam
kandang ilmu yang reot selama sembilan tahun. Susah senang, suka duka, canda
tawa, semua mereka rasakan bersama di SD dan SMP Muhammadiyah. Hal besar dan
kecil yang mereka lakukan bersamalah yang membuat tali persahabatan mereka kian
hari kian erat, hingga tanpa sadar mereka menganggap satu sama lain sebagai
keluarga. Mereka seakan merasakan sakit apabila kawannya sakit, merasa bahagia
apabila kawannya bahagia. Mereka layaknya tubuh, apabila satu organnya mengalami
cidera, maka kerja organ lain pun akan terganggu. Dapat dikatakan senasib
sepenanggungan. Seluruh anggota Laskar Pelangi, Bu Mus, dan Pak Harfan yang
batinnya seakan telah terikat atas nama kekeluargaan ikut merasakan pilu yang
ditanggung Lintang saat ayahnya meninggal dunia. Ayah Lintang meninggal dengan
mewariskan posisi tulang punggung keluarga kepada Lintang. Posisi itulah yang
memaksa Lintang untuk putus sekolah. Lintang harus menghidupi tiga belas orang
keluarganya. Beban dan kepedihan itu seakan dirasakan oleh seluruh temannya.
Tak ada anggota Laskar Pelangi yang tidak berderai air mata saat mengetahui
kenyataan hidup yang harus ditanggung Lintang.
Selain nilai-nilai kehidupan,
nilai-nilai tauhid atau keimanan juga sedikitnya dibahas dalam satu bab novel
ini, yakni pada bab Tuk Bayan Tula. Andrea Hirata menyiratkan pesan moral agar
kita menjauhi kemusyrikan dan hal-hal yang dapat membawa kita pada kemurtadan.
Musibah di lautan yang menghadang perjalanan Mahar dan Societit de Limpai
–organisasi orang-orang pencinta hal gaib yang diketuai oleh Mahar– ke kediaman
Tuk Bayan Tula itu menunjukkan bahwa Allah akan memberikan hukuman besar bagi
orang-orang yang menyekutukannya. Selain menyiratkan nilai tauhid, bab ini juga
mencerminkan masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih ada yang percaya
akan hal-hal gaib. Di tempat-tempat yang masih belum tersentuh dengan kemajuan
teknologi, orang-orang Indonesia masih banyak yang pemikirannya masih
terbelakang. Salah satunya adalah pemikiran tentang hal-hal gaib yang dapat
mememberikan keuntungan dan mengirimkan bala kepada seseorang.
Cerita dua belas tahun setelah kelulusan
Laskar Pelangi dari SMP Muhammadiyah sama sekali tak tertebak oleh saya. Kenyataan
bahwa Lintang –sang Isaac Newton, Andre Marie Ampere, dan Albert Einstein Sekolah
Muhammadiyah Belitong– tumbuh dewasa menjadi seorang sopir truk pasir, membuat
saya membenci akhir cerita novel ini (sebenarnya cerita ini masih berlanjut
pada novel Sang Pemimpi dan Edensor, dan saya belum mengetahui nasib Lintang
pada novel-novel tersebut). Dan keputusan Andrea Hirata membuat Syahdan –anak
yang paling diragukan kesuksesannya saat masih di bangku sekolah– sukses
menjadi seorang Information Technology
Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka, adalah salah satu
caranya untuk mengingatkan kepada pembaca bahwa manusia tidak dapat menebak
nasib dan masa depan. Cita-cita Lintang menjadi seorang matematikawan yang
gagal diraihnya itu juga memperlihatkan bahwa manusia hanya Tuhan izinkan untuk
berencana dan berjuang, tetapi eksekusi tetap berada di tangan-Nya.
Novel Laskar Pelangi juga berisi kritik sosial. Novel ini mencoba membuka
mata dan hati pemerintah untuk melihat bagaimana kondisi sekolah-sekolah di
wilayah terpencil. Andrea Hirata menguak bagaimana kesulitan dan minimnya
fasilitas sekolah-sekolah di wilayah terpencil itu. Novel ini diharapkan dapat
menjadi tamparan untuk para petinggi negara, agar mereka sadar bahwa pendidikan
di Indonesia masih sangat belum merata, dan sila kelima yang mengusung keadilan
bagi seluruh rakat Indonesia masih belum terealisasi. Selain itu saya menangkap
bahwa Andrea Hirata geram akan kelakuan para politisi kebanyakan yang hanya
mementingkan keuntungan pribadi. Berulang kali ia menjelaskan perangai Kucai
yang banyak bicara dan sok tahu padahal tak tahu apa apa, kemudian dikatakan
bahwa Kucai cocok menjadi politisi dengan karakternya yang seperti itu.
Novel yang kaya akan amanat dan pengetahuan
ini telah mencuri hati saya. Saya ikut merasakan hampir seluruh emosi yang
Andrea Hirata coba tuangkan pada setiap tokoh novel ini. Cerita dalam alur yang
tak dapat saya nyatakan apakah maju atau maju mundur ini tak sedikitpun membuat
saya bingung. Saya sangat menikmati setiap bab dalam novel ini. Dengan ini saya
mengakui bahwa Andrea Hirata adalah salah satu penulis ulung, dan Laskar Pelangi adalah sebuah mahakarya
yang memang pantas mendapat berbagai penghargaan.
Comments
Post a Comment